Assalamu 'alaikum wr.wb

WELCOME 2 my WORLD
itz my world,,,

Minggu, 27 Februari 2011

TUGAS HUKUM SDA 1

Tugas : HUKUM SUMBER DAYA ALAM

Nurhuda Sulaeman

B111 08 318

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

KONFLIK

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Adapun konflik yang dibahas di sini adalah konflik antara hukum negara dengan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam yang muncul sebagai akibat ekspresi hukum adat pada wilayah-wilayah adat yang tidak lagi diakui oleh hukum negara. Banyak konflik mengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan dasar penguasaan oleh negara atas sumber-sumber agraria yang kemudian dikenal dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN). Penguasaan tanah oleh negara merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam mensejahterakan rakyat melalui pemanfaatan sumber-sumber agraria. Konsep tersebut dilakukan untuk mendistribusikan sumber-sumber agraria lebih adil sehingga terjadi pemerataan dalam pemanfaatannya. HMN lahir selain untuk kesejahteraan, sesungguhnya merupakan mekanisme untuk melindungi rakyat Indonesia dari penindasan-penindasan oleh individu maupun kelompok yang berkepentingan. Namun dengan kekuasaan yang besar tersebut, negara pun dapat berlaku sebagai subjek penindas. Di sinilah dapat terjadi konflik yang bersifat struktural, artinya konflik tesebut terjadi disebabkan oleh penggunaan atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintah.

Konflik struktural terjadi dengan bermacam-macam cara. Keterlibatan negara dalam konflik dengan masyarakat hukum adat disebabkan adanya benturan antara hukum adat dengan hukum negara. Benturan seperti ini berakhir dengan terpinggirkannya hukum adat yang memiliki posisi lemah. Terdapat 2 modus yang digunakan dalam konflik struktural. Pertama, melalui kebijakan nasionalisasi yang memberikan dasar hukum bagi bangsa Indonesia sebagai pewaris tunggal terhadap aset-aset Belanda. Pasca kemerdekaan seluruh aset-aset Belanda dimiliki oleh bangsa ini. Nasionalisasi kemudian disambut dengan kebijakan-kebijakan konversi tanah atas hak-hak barat. Hak erfpacht kemudian dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU). Konversi hak erfpacht telah menyebabkan berpindahnya hak-hak ulayat masyarakat hukum adat kepada negara. Konversi hak ini telah mengabaiakan sejarah lahirnya hak erfpacht. Sehingga konversi hak erfpacht menjadi HGU tidak tepat dan menjadi penyebab lahirnya konflik. Hak erfpacht dengan objeknya hak milik menjamin keberadaan hak atas tanah semula, sehingga berakhirnya perjanjian hak mengembalikan tanah kepada pemilik semula. Namun tidak dengan konsep HGU yang dibebankan atas tanah negara mengakibatkan hilangnya hak atas tanah pada saat berlakunya hak erfpacht.

Kedua, konflik terjadi akibat adanya ”pengelabuhan hukum” oleh negara dalam proses pelepasan hak ulayat. Pengelabuan ini terjadi akibat perbedaan konsep pelepasan hak atas tanah ulayat. Misalnya pelepasan hak pada hukum adat Minangkabau menggunakan konsep adat yaitu siliah jariah. Siliah jariah menurut hukum adat Minangkabau merupakan pengganti atas jerih payah pemegang hak kelola tanah ulayat. Siliah jariah tidak merubah status hak kepemilikan tanah ulayat. Namun mekanisme tersebut diartikan lain sebagai bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh negara atas tanah-tanah adat. Mekanisme ini tanpa disadari oleh komunitas masyarakat hukum adat telah merubah status penguasaan tanah.

Penindasan oleh negara dapat dilakukan oleh aparat negara dengan masuknya kepentingan dengan mengatasnamakan kepentingan nasional/ kepentingan negara. Negara melalui aparatnya dapat saja memasukkan kepentingan-kepentingan baik kelompok maupun individu dengan mengatasnamakan negara. Pada sisi lain, swasta pun dengan segala kepentingannya dapat memanfaatkan konsep ideal penguasaan negara melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber agraria. Orientasi swasta dengan prinsip ekonomi yang mencari keuntungan sebesar-besarnya, melihat kekayaan alam seperti tanah, hutan, tambang sebagai sumber ekonomi yang dapat dikalkulasikan untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pada kondisi ini, konsep ideal penguasaan negara dapat dicemari dengan segala kepentingan dan berpotensi terjadinya penyelewenangan penguasaan negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi tidak lagi mampu memenuhi kesejahteraan rakyat yang merupakan cita-cita luhur penguasaan. Artinya, benturan-benturan kepentingan dengan pemenuhan kesejahteraan tidak dapat terelakkan yang berakibat pada penindasan hak-hak rakyat. Jika sampai pada kondisi ini, maka penguasaan negara akan kehilangan jiwanya. Kesengsaraan dan konflik yang berkepanjangan dapat dipastikan terjadi. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat, hampir keseluruhan perkebunan berskala besar yang ada di daerah ini berkonflik dengan masyarakat. Pelaku utama didominasi oleh negara terutama pemerintah daerah maupun pusat. Konflik terjadi akibat penerapan hukum agraria nasional di Sumatera Barat. Hukum yang diterapkan cenderung dipertentangkan dengan hukum adat yang dikenal dan dihargai oleh komunitas nagari. Penggunaan hukum adat Minangkabau dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pengalokasian hak ulayat menjadi illegal karena ukuran yang dipakai adalah hukum agraria nasional. Kebijakan nasionalisasi oleh negara pun turut andil dalam terjadinya konflik ulayat (agraria) di Sumbar. Pasal III ketentuan-ketentuan konversi Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa tanah-tanah untuk perusahaan perkebunan besar yang di dalamnya terdapat hak erfpacht sejak saat berlakunya UUPA beralih menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Ketentuan ini telah mengabaikan sejarah lahirnya hak erfpacht atas tanah ulayat. Baik sejarah asal tanah yang dibebani hak (hak erfpacht) maupun hubungan hukum yang berlaku terhadapnya (sewa). Berdasarkan hukum adat Minangkabau, berakhirnya perjanjian sewa mengembalikan ulayat kepada masyarakat hukum adat. Tanah ulayat merupakan kekayaan masyarakat yang tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. Pengelolaan terhadapnya yang dilakukan oleh pihak lain akan kembali kepada pemilik ulayat semula jika si pengelola tidak lagi mengelola ataupun habis masanya. Karena tanah ulayat berarti penting bagi komunitas, tidak hanya bernilai ekonomis namun juga sosial dan budaya.

Contoh konflik lain yang terjadi adalah Masyarakat Adat Tau Taa Wana di Sulawesi Tengah, khususnya yang bermukim di sepanjang kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bongka[1] yang hingga kini telah melakukan berbagai aktivitas dalam perjuangan merebut kembali hak-hak pengelolaan sumber daya alam yang selama ini berada di tangan negara melalui kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memperoleh kuasa konsesi lahan di wilayah adatnya. Gerakan-gerakan protes dari masyarakat adat untuk memperjuangkan hak atas wilayah adat dan pengelolaan sumber daya alam, pada umumnya mengedepankan sejumlah instrumen hukum nasional sebagai alas perjuangan. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 umpamanya, menegaskan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam Undang-Undang”. Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada masyarakat adat dalam hubungannya dengan negara, serta menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara (pemerintah) bagaimana seharusnya masyarakat adat diperlakukan. Dengan demikian, pasal ini sesungguhnya adalah sebuah deklarasi, bahwa : (1) pengakuan dan penghormatan terhadap identitas dan hak-hak tradisional masyarakat adat merupakan hak konstitusional masyarakat adat. (2) pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat merupakan kewajiban konstitusional negara yang mesti diatur dalam Undang-Undang.

Sejauh ini, memang terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang telah menegaskan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat, di antaranya: Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960; Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dan Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999. Namun persoalannya, pengakuan, penghormatan dan perlindungan tersebut baru dimungkinkan jika entitas masyarakat adat tersebut, secara empirik, pada kenyataan masih ada.

Ada juga contoh konflik yang terjadi pada masyarakat adat Semende mengenai TNBBS yang mulanya adalah kawasan lindung yang kemudian Bukit Barisan Selatan ini memperoleh status Kawasan Pelestarian Alam. Pada tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kawasan hutan TNBBS meliputi arela seluas 356.800 Ha. Dari luasan tersebut kawasan taman nasional ini, 18 % luasnya merupakan wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan. No. 420/ Kpts-II/ 1999, tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Bengkulu, yaitu seluas 64.711 Ha.

Penetapan TNBBS menuai protes dari wilayah adat setempat, karena wilayah kelola masyarakat berubah menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Ketidakikutsertaan masyarakat adat sekitar dalam penetapan TNBBS, terutama dalam penentuan tata batas, menyebabkan hak-hak adat yang mempunyai kekuatan hukum atas wilayah adatnya terabaikan bahkan tidak mendapatkan pengakuan pemerintah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan yang mengikutinya jelas diatur dan diakui hak-hak masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 dijelaskan, Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Contoh konflik yang lainnya yaitu konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut Bunaken. Sejak tahun 1827 pulau Bunaken dan sekitarnya telah didiami oleh Masyarakat Adat Sangihe Talaud dan Bantik. Masyarakat tersebut mengusahakan kebun kelapa di daratan dan berusaha sebagai nelayan di wilayah adat lautnya. Agak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, Sulawesi Utara memiliki riwayat lahan yang terdokumentasikan secara baik sejak zaman Belanda dulu, misalnya; nama keluarga pertama yang menetap di P. Bunaken pada tahun 1827 (Pamela, Kawangke, Pasinaung dan Manelung), kemudian disusul keluarga Andraes Uring dan Yacobus Carolus (thn 1840), kemudian dijual kepada keluarga Paulus Rahasia, Matheus Pontoh dan Animala Paransa.

Dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan no 328/Kpts-II/1986 tentang Taman Laut Bunaken, maka ikatan antara daratan dan laut dalam aktifitas masyarakat adat di pulau tersebut terpotong-potong. Wilayah laut yang masuk dalam Kawasan Taman Laut dibagi-bagi dalam zonasi yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman hayati misal komunitas terumbu karang dan Padang lamun. Sedangkan wilayah daratannya dibagi atas kawasan hutan asli dan kawasan pertanian dan perkampungan. Sedangkan pada kenyataanya wilayah daratan di pulau Bunaken, tanahnya sudah menjadi objek jual beli sejak lama dan merupakan tanah milik yang telah tercatat dalam register desa. Terjadi konflik atas kewenangan pemilik dan pemerintah sebagai pengelola TL Bunaken. Konflik ini menunjukkan bahwa pemahaman Pemerintah akan riwayat lahan sangat terbatas dan kurangnya pengakuan dan penghargaan Pemerintah atas kepemilikan pribadi (private property) sehingga kepemilikan pribadi dapat diambil alih oleh negara (penasionalan) tanpa ada kesempatan yang cukup untuk bernegosiasi.

Jika dicermati, konflik-konflik yang muncul dalam pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state-based resource management), mengedepankan pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam, juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat, serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources loss); dari segi sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat.



[1] Komunitas Tau Taa Wana yang bermukim di sepanjang kawasan aliran sungai Bulang (Tau Taa Wana Bulang) --- salah satu sungai yang bermuara di Sungai Bongka dan karenanya termasuk sebagai catchment area (daerah tangkapan air) di DAS Bongka--- pernah melakukan penolakan dan protes keras terhadap rencana Depsos Kabupaten Banggai untuk merelokasi mereka ke Salumasa Desa Singkoyo. Mereka melayangkan surat kepada Menteri Sosial RI tertanggal 27 September 1997 yang ditandatangani oleh 55 KK Tau Taa Mpoa. Rencana relokasi itu bertujuan hendak menjadikan Tau Taa Wana Bulang sebagai petani plasma .sekaligus buruh tani di Perkebunan Sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati. Selain itu, masalah yang berkembang sekarang adalah konflik Tapal Batas dengan Wilayah Transmigrasi Dataran Bulan. Sebagian warga transmigrasi ingin memperluas areal pengelolaan sumber daya alam yang telah masuk dalam wilayah adat Lipu Mpoa. Areal Transmigrasi Bulang sendiri, jika dilihat dari aspek sejarah pengelolaan dan pemanfatannya pada masa lalu, merupakan wilayah kelola anggota komunitas Tau Taa Wana Bulang, dan akibat masuknya proyek Transmigrasi, telah menghancurkan tanaman-tanaman tahunan (Pinamuya) mereka seperti kemiri, durian, dan langsat.