Assalamu 'alaikum wr.wb

WELCOME 2 my WORLD
itz my world,,,

Rabu, 17 November 2010

cerpen

Surat-surat itu…

Berulang kali Dinda melirik arlojinya, wajahnya tampak resah dan kesal, sambil berlari-lari kecil menuju ke lapangan yang telah dipenuhi barisan putih abu-abu senada dengan seragamnya. Ia menyusup di antara barisan kemudian tersenyum begitu menemukan sosok yang tidak asing lagi tengah berdiri di barisan kedua.

“Hera…” Dinda menepuk bahu seorang cewek yang sedang khidmat memperhatikan barisannya.

“ooh…Dinda, kok baru datang? Cepat ambil barisan!” perintahnya seolah ia adalah pimpinan barisan itu.

“Hmm…aku di sini saja” ia mensejajarkan dirinya dengan Hera.

“tapi kan cuma dua orang saja per baris” protes Tasya yang lebih dulu berada di barisan itu bersama Hera.

“tidak apa-apa, kan baru hari pertama..” kata Dinda santai walau sebenarnya ia was-was juga dengan sikap Tasya yang dingin.

“tapi kan tetap saja aturan, walau dalam keadaan apa pun dan siapa pun itu harus taat pada aturan..” tegas Tasya ketus.

“kali ini saja Sya…lagian kelas kita kan belum ditetapkan, ini cuma barisan sementara saja” Hera menyela.

“memangnya dia siapa? kenapa harus dikecualikan? ini kan upacara, tidak peduli walau belum ada penetapan kelas” nada suaranya telah mencapai taraf kemarahan.

“Hera, aku ke belakang saja..” Dinda memilih mundur daripada menjawab bendera peperangan yang dikibarkan Tasya.

“oke deh…tapi aku ikut...”Hera mengikuti langkah Dinda ke barisan belakang dan membentuk barisan baru bersamanya. Tasya hanya diam menyaksikan kedua orang yang meninggalkannya sendirian di barisan itu.

Dinda tengah sibuk melihat daftar nama yang tertempel di depan pintu sebuah kelas. Sudah tradisi SMA Kartika, setiap penaikan kelas, para siswanya diacak berdasarkan nilai.

“eh…dapat…” Hera segera menyeretnya ke suatu tempat.

“nih…Adinda Zahrana….dengan stambuk 4750…”Hera membacakan nama lengkap Dinda dengan keras. “IPA 1 lho…iri deh, aku cuma masuk IPA 3” tambah Hera sambil menyenggol pinggang Dinda.

Dinda tersenyum mendengar ocehan Hera, seolah tidak yakin ia memastikannya sendiri pada daftar yang tertempel itu. Tapi tiba-tiba senyumnya buyar ketika telunjuknya singgah di sebuah nama.

“Raditya Agung…” desis Hera begitu melihat nama yang ditunjuk Dinda, “kalian sekelas…?” matanya membulat melihat Dinda. Keduanya terkejut. Terutama Dinda. Ada rasa sakit yang tiba-tiba menyergap tubuhnya.

Dinda melangkah menuju ke kelasnya sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia mengedarkan pandangannya di ruangan itu. Tidak ada, syukurlah.., ada sedikit kelegaan di hatinya.

“Din..,bangku ini sudah ada yang punya tidak?” tanya Tasya sambil menunjuk bangku di sebelah Dinda. Dinda heran, mereka lagi-lagi sekelas untuk ketiga kalinya, tetapi baru kali ini Tasya mau duduk dengannya.

“Ooh..belum, kamu..” belum selesai kalimat Dinda, Tasya meletakkan tasnya lalu duduk. Sebenarnya Dinda ingin mengobrol dengan Tasya tapi sikap Tasya yang acuh tak acuh membuatnya mengurungkan niatnya. Mungkin Tasya masih jengkel padanya sebab kejadian tadi pagi.

Tiba-tiba seseorang yang sejak tadi menjadi sumber kekhawatiran Dinda muncul di hadapannya. Radit mengedarkan pandangan mencari bangku yang kosong, tanpa sengaja ia melihat seseorang yang duduk di bangku depan dan membuatnya terkejut. Orang yang ditatapnya tak kalah terkejutnya lalu berpura-pura melihat ke arah lain. Radit tersenyum melihat tingkah cewek itu, namun ia kembali terkejut akan sesuatu yang menimbulkan kerisauan di hatinya.

Malam harinya, Dinda tidak bisa tidur, “satu-satunya jalan adalah bersikap tidak kenal atau anggap dia tidak ada…” kata Dinda pada dirinya sendiri. Aku harus bisa, batin Dinda sebelum akhirnya memejamkan matanya walaupun pikirannya sedang kacau. Terbayang lagi kejadian hari itu, hari di mana ia harus mengakhiri hubungannya dengan Radit. Sebenarnya bukan ia yang mengakhiri tetapi Radit yang tiba-tiba meminta putus bahkan dengan alasan yang tidak logis menurut Dinda.

“Din, kita…pu..tus saja…” kata-kata itu ibarat jarum yang ditusukkan ke hati Dinda.

“ke..kenapa?” hanya itu yang keluar dari bibir Dinda lehernya serasa tercekat. Matanya mulai panas dan ada gemuruh di dadanya. Ia masih menunggu Radit melanjutkan kata-katanya yang justru semakin menyakitkan hatinya.

“Maafkan aku,aku tidak bisa membahagiakanmu…,mungkin ada orang lain yang lebih dari aku, yang bisa memberimu kebahagiaan” hanya itu yang dikatakan Radit. Dada Dinda sesak mendengarnya, ia tak mengerti, apa selama ini ia tidak bahagia? Padahal ia merasa sangat beruntung bisa bersama Radit. Baginya Radit-lah kebahagiaannya, lalu mengapa Radit berkata seperti itu? atau justru Radit-lah yang selama ini tidak bahagia bersamanya?

Hari ini Pak Amrul, guru fisika, tidak masuk dan menitip tugas melalui Tasya untuk menuliskan di papan. Sementara itu, seseorang tengah memerhatikan Dinda dan menatap cewek itu lekat-lekat, ada suatu kesedihan di matanya. Hanya itu yang bisa ia lakukan beberapa minggu ini. Menatap cewek itu meski dari kejauhan dan kerinduan yang tak terbendung telah mengenangi setiap ruang jiwanya, ia tetap tidak bisa untuk mendekati cewek itu. Jarak yang diciptakan cewek itu telah membuatnya rapuh dan tak mampu bertindak apa-apa selain hanya bisa mengobati hatinya lewat matanya.

Keputusan Dinda benar-benar berhasil. Tiga minggu ia lewati tanpa hambatan. Ia tidak menghiraukan Radit, makhluk yang ia anggap sebagai makhluk halus tak kasat mata. Setiap kali Radit menyapanya atau mengajaknya bicara, ia hanya diam dan menghindari kemungkinan untuk berkontak langsung dengan Radit.

“Din…” Ardi menghampiri Dinda yang tengah sibuk menyalin catatan Fisika yang ditulis Tasya di papan.

“ada apa, Di?” tanya Dinda

“Hmm…tidak apa-apa…aku hanya mau pinjam catatan Matematikamu” jawab Ardi dengan wajah memerah.

“ooh…kenapa bukan punya Tasya saja? Catatanku tidak lengkap”

“catatanmu saja deh, aku tidak berani pinjam milik Tasya” Ardi menatap cewek itu lekat-lekat.

Dinda mengangguk, ia mengerti maksud Ardi. Tidak ada seorang pun di kelas itu yang berani meminjam catatan Tasya termasuk dirinya karena sikap Tasya yang dingin dan cuek pada siapa pun meskipun predikat Tasya sebagai siswa teladan di sekolah itu.

Sikap Dinda yang tak mengacuhkan keberadaan Radit demi menutupi kerapuhan hatinya kini menjadi bumerang bagi dirinya. Ketika Dinda sedang jalan di mall, ia melihat Radit tengah bergandengan tangan dengan orang yang juga dikenalnya, Tasya. Peristiwa itu tidak hanya dilihatnya di mall tetapi juga di sekolah, ia sering melihat mereka berduaan. Bahkan dengan entengnya Radit duduk di bangkunya_bangku milik Dinda_tentu saja bersama Tasya di sampingnya. Ternyata benar mereka pacaran. Hati Dinda mulai goyah dan kembali membuka luka di hatinya.

Bukan hanya itu, kali ini Dinda-lah yang mendapat perlakuan sebagai makhluk tak kasat mata. Radit tidak menganggap keberadaan Dinda tatkala bersama Tasya di bangkunya, ingin rasanya Dinda pindah bangku. Tasya juga sering bercerita tentang Radit yang membuat kuping dan hatinya panas. Entah sejak kapan Tasya menjadi cerewet dan hampir setiap kata yang keluar dari mulutnya berkaitan dengan Radit.

“Hai, Dinda…” sapa Ardi lalu berlalu cepat meninggalkan Dinda yang heran melihat tingkahnya. Aneh! Hampir setiap hari Ardi menyapanya seperti itu. Mereka memang baru sekelas, tapi mereka sama-sama aktif di PMR. Ardi memang pemalu dan jarang bicara. Tapi beberapa temannya yang juga aktif di PMR sering menyampaikan pada Dinda bahwa Ardi suka padanya, tetapi selama ini Dinda hanya menganggap itu sebagai candaan teman-temannya saja.

“Din…” Hera memanggilnya di pintu. Dinda segera menghampirinya. Lalu keduanya menuju ke kantin.

“bagaimana?” tanya Hera sambil menyeruput teh kotak.

“apa?” Dinda tidak mengerti maksud Hera. Sejak tadi ia tidak menyimak perkataan Hera. Pikirannya melayang entah ke mana.

“aku tadi tanya, bagaimana perasaanmu? Radit dan Tasya…” Hera tak tega melanjutkan kata-katanya.

Dinda hanya menggeleng lalu berdiri “tidak usah bahas itu, aku sudah ikhlas kok, masalahku dengannya sudah lama jadi lupakan saja” suara Dinda terdengar tenang. Hera terkejut mendengar yang dikatakan Dinda. “Apa benar kamu ikhlas Din? Aku tahu kamu masih sayang Radit, masih belum melupakannya. Apa semudah itu melupakan orang yang disayangi?” batin Hera.

“kamu serius? Semudah itu?” Hera masih tidak percaya. Dinda mengangguk pelan lalu tersenyum meski sebenarnya ia merasa sakit sekali.

Dinda berjalan sambil menunduk, pikirannya masih kacau. Tiba-tiba ia menabrak seseorang.

“maaf, maaf…aku…” ia terkejut melihat sosok di depannya. Ia segera beranjak meninggalkan orang itu.

“Dinda tunggu…” Radit memanggilnya namun ia sama sekali tak menoleh. Dinda mempercepat langkahnya, namun Radit menarik lengannya.

“lepaskan…” Dinda berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Radit.

“aku mau bicara” ucap Radit pelan. Namun Dinda tak peduli, ia terus berontak.

“lepaskan dia” Ardi tiba-tiba muncul, wajahnya terlihat marah.

Radit tak menghiraukan teguran Ardi, ia hanya mendengus lalu menarik Dinda.

“aku bilang lepaskan, biarkan ia pergi..” Ardi semakin marah, matanya berkilat tajam.

Radit tersenyum, namun tatapan matanya tak kalah tajam, “aku ada urusan dengan Dinda, tak ada hubungannya denganmu”

“kita tak ada urusan apa-apa lagi, tak ada yang perlu dibicarakan” ucap Dinda lirih.

Ardi tersenyum mendengar kalimat Dinda, “lihat? aku pikir Dinda sudah memberikan jawabannya, biarkan ia pergi!”

Cekalan tangan Radit mengendur, Dinda mengambil kesempatan melepaskan diri lalu segera berlari meninggalkan kedua orang itu. Radit terlihat pasrah, tatapan matanya kabur. Ada rasa sakit yang ia rasakan.

“biarkan ia memilih, jika kau memang sayang padanya…” ucap Ardi sebelum berlalu meninggalkan Radit.

Dinda mengerjapkan matanya berulang kali, sejak tadi ia sangat mengantuk. Ia melirik ke sebelahnya, Tasya tengah senyum-senyum sendiri sambil memencet tombol handphonenya yang ia letakkan di laci sambil berpura-pura memperhatikan Pak Rusdy menjelaskan perubahan reaksi kimia di papan. Tanpa sadar, Dinda menoleh ke tempat Radit berada. Tampak Radit tengah serius membaca buku tebal bertuliskan “KIMIA SMA KELAS XII” tetapi perhatian Radit sepertinya bukan pada isi buku itu melainkan pada sebuah benda yang ia selipkan di tengah buku. “Pasti lagi sms-an deh…”pikir Dinda.

Tanpa sengaja pandangan matanya bertumbukan dengan mata milik Radit. Cepat-cepat Dinda menarik kepalanya kembali. Ia tak menyangka akan dilihat oleh Radit. Sementara itu, Radit tersenyum melihat tingkah cewek itu. Berkali-kali ia mendapati ekspresi itu, ekspresi yang dilihatnya setiap kali Dinda menatap ke arahnya. “Ada apa Dinda? Kenapa belakangan ini wajahmu seperti itu? Seharusnya kau bahagia…karna aku pun sudah memperlihatkannya padamu…”ucap Radit dalam hati dengan pandangan tetap ke arah Dinda lalu beralih pada seseorang yang juga sejak tadi melakukan hal yang sama dengannya ‘mengamati Dinda’. Tiba-tiba rasa sakit itu kembali menyerang hatinya.

Dinda berlari kecil ke kelasnya. Kelas telah bubar sejak tadi, hanya saja ia membantu Bu Sri membawakan buku-buku tugas milik teman sekelasnya.

“Hai…Dinda..” suara seorang cowok memanggilnya. Suara itu tidak asing lagi, sebab yang dikatakannya selalu sama dan hampir setiap hari. Dinda menoleh dan melihat Ardi berdiri di belakangnya.

“hai, Ardi…kok belum pulang?” ucap Dinda, sebenarnya ia merasa kikuk menghadapi Ardi yang jarang bicara. “oh..iya, terimakasih ya..tadi kamu sudah menolongku” tambah Dinda.

Ardi hanya mengangguk lalu dengan tampang malu-malu, “Aku…ingin tahu jawabanmu…aku sudah menunggu lama”

Kening Dinda berkerut mendengar kalimat Ardi, ia sama sekali tak mengerti dengan yang diucapkan cowok itu, “Jawaban apa?”

“suratku…dua hari yang lalu aku menyimpannya di lacimu…” kata Ardi penuh harap.

“aku tak pernah menerima suratmu…lagipula surat apa?” Dinda bingung sekaligus kaget.

“benar?” Ardi ragu mendengar yang dikatakan Dinda. Lalu ia terkejut melihat cewek itu mengangguk.

“surat apa sih?” tanya Dinda.

Ardi nampak ragu, “aku menunggu jawabanmu…sesuai janjimu..” jawab Ardi yang justru membuat cewek itu semakin bingung.

“maksudnya apa? Jawaban apa? Dan janji apa? Jelaskan biar aku mengerti…”

Ardi terkejut mendengar Dinda berkata seperti itu, “berarti selama ini kamu tidak tahu? Pantas saja…”gumamnya sedih. Kemudian ia menjelaskan semuanya pada cewek itu, “dua bulan lalu, kira-kira sebelum ujian penaikan kelas, aku pernah kirim surat padamu, isinya…”, Ardi berhenti sejenak wajahnya memerah, “isinya…aku suka sama kamu tapi aku tidak berani bilang secara langsung, lalu akhirnya aku mengatakannya lewat surat meskipun aku tahu saat itu kamu pacaran dengan Radit. Lalu surat itu kuselipkan di bukumu…” Ardi menghela nafas panjang.

Dinda terkejut tak percaya dengan yang dikatakan Ardi, “buku yang mana?” tanya Dinda dengan kening berkerut.

“mmm…buku sejarah…” Ardi mengingat-ingat, “aku yakin buku itu punyamu…namamu jelas tertulis di sampulnya”

“buku sejarah…” Dinda tiba-tiba teringat sesuatu, ”tunggu! buku sejarahku hilang di kelas lalu tepatnya sebelum ujian penaikan kelas”

“berarti…” Ardi memikirkan sesuatu

“lalu?” Dinda tidak sabar menanti lanjutan cerita Ardi.

“lalu, tiga minggu kemudian, aku mendapat sebuah surat di tasku. Awalnya aku tak percaya bahwa itu darimu, kemudian aku memeriksa catatanmu ternyata benar itu tulisanmu. Aku sangat gembira karna ternyata kamu juga menyukaiku hanya saja kamu bersama Radit, jadi belum siap menerimaku sampai kamu putus dengannya” cerita Ardi panjang lebar.

“sampai akhirnya…kamu putus dengan Radit, aku menunggu saat yang tepat untuk mengirim surat lagi padamu. Aku ingat jelas, aku meletakkannya di lacimu. Tapi sepertinya ada orang yang telah mempermainkanku. Brengsek!” desis Ardi jengkel.

“bukan hanya kamu yang dipermainkan, tapi juga aku, sebab orang itu telah memakai namaku” seru Dinda ikut jengkel.

“Dinda, benar kamu tidak pernah menerima surat apa pun atau…mengirim surat padaku?” tanya Ardi mencoba meyakinkan sekali lagi namun kemudian kecewa mendengar jawaban cewek itu.

“maaf, Di…tapi aku tak pernah menulis ataupun mengirim surat…emm...boleh aku melihat surat itu? Kamu bilang surat itu mirip tulisanku” Dinda berpikir siapa tahu ada petunjuk tentang pelaku sebenarnya. Lama Ardi terdiam, ia terlihat ragu mengatakan sesuatu, ia hanya menggaruk kepalanya.

“mana suratnya?” tanya Dinda.

“emmm…itu…suratnya…diambil Radit..” jawab Ardi pelan.

Radit tengah duduk di ruang tengah rumah Tasya sambil membaca majalah namun konsentrasinya bukan pada majalah yang dipegangnya. Ia teringat ketika Ardi memperlihatkan surat yang ditulis Dinda. Kata-kata yang ditulis Dinda sungguh membuatnya terluka.

“lepaskan Dinda, aku tahu kamu sayang padanya tapi lebih menyakitkan lagi bila orang yang kamu sayangi ternyata tidak bahagia di sampingmu” kata Ardi

Radit menggelengkan kepala mengusir ingatan hari itu.

“biarkan ia memilih, jika kau memang sayang padanya…”, lagi-lagi perkataan itu terngiang di telinganya. “Benarkah Dinda? Kamu telah memilih?”, batinnya sedih.

“sayang…” suara Tasya menyadarkannya dari lamunan.

“i..iya..” kata Radit

“aku pake yang mana ya?” tanya Tasya sambil mengamati sepatu-sepatunya. Radit menghampiri Tasya dan ikut memperhatikan sepatu-sepatu itu. Sebenarnya ia mulai kesal sebab sejak dua jam yang lalu ia berada di rumah Tasya menunggui cewek itu berdandan. Untuk nonton saja seribet itu, ucapnya dalam hati.

“aduh! Warna brossku tidak cocok dengan sepatu ini…” ucap Tasya sambil memegangi sepatu yang menjadi pilihannya.

“sayang…tolong dong ambil kotak perhiasanku di kamar, ada di laci!” perintah Tasya sambil sibuk memperhatikan sepatunya.

Radit hanya menghela nafas lalu bergerak ke kamar Tasya. Ia mencari kotak yang diperintahkan Tasya namun ia bingung karena terdapat dua laci di meja itu. Ia membuka laci bagian bawah. Hanya berisi buku-buku dan kertas. Ia segera menutup laci itu, namun ia melihat sesuatu. Ia mengambil sebuah buku di laci itu dan memeriksa buku yang tak asing baginya. Ia terkejut melihat nama yang tercantum pada sampul buku itu lalu ia membuka buku itu halaman demi halaman. Tiba-tiba ia menemukan kertas-kertas surat yang telah disobek dan ia semakin terkejut, tulisan pada salah satu kertas itu berikut kata-katanya sangat ia kenal. Radit segera berlari keluar meninggalkan rumah Tasya, ia tak menghiraukan teriakan Tasya memanggilnya.

Sebelum bel masuk, Radit menemui Ardi di halaman belakang sekolah. Radit memberikan surat beramplop pink dan biru pada Ardi.

Ardi terkejut melihat surat yang ia tulis sendiri, “kenapa ini ada padamu?” Ardi menerima surat itu dengan tatapan curiga.

“Tasya..” ucap Radit lalu berbalik, kemudian berhenti sejenak, “maaf, aku sudah salah paham. Kuhargai perasaanmu terhadap Dinda” lalu berjalan meninggalkan Ardi yang terbengong sendirian.

“Radit harus tahu. Ini semua hanya salah paham. Surat itu bukan kamu yang menulisnya” kata Hera pada Dinda. Mereka tengah berada di perpustakaan.

“Sudahlah, Her. Tidak penting lagi untuk membahas masa lalu, aku juga sudah tahu alasan sebenarnya Radit meninggalkanku, sama sekali bukan salahnya dan tak ada yang perlu disalahkan…” ucap Dinda sambil membaca buku.

“ini menyangkut perasaanmu, itu tidak penting?” tanya Hera geram.

Dinda mengangguk, “iya, perasaanku bilang kebahagiaan Radit lebih penting, aku tidak mau egois. Walaupun Radit mengetahui kebenaran ini, tidak akan merubah apa pun. Hati Radit sekarang milik Tasya, aku tidak mungkin melukai Tasya. Lebih baik masalah ini dilupakan saja”

“tapi aku tidak akan melupakannya, setelah kamu menutupi kebenaran itu, aku tidak akan melepaskanmu” tiba-tiba Radit ada di belakang mereka berdua.

Keduanya terperanjat melihat kemunculan Radit. Kemudian Radit menarik kursi di sebelah Dinda dan menghadap ke arah cewek itu, “bodoh! semudah itukah melupakan hal ini?” Radit menatap Dinda yang hanya menunduk.

“hmm…aku ke toilet dulu yah…” Hera segera meninggalkan keduanya.

“aku…aku hanya tidak ingin merusak kebahagiaan Tasya..”ucap Dinda tak berani melihat Radit.

“lalu kamu ingin merusak kebahagiaanku?”

Dinda terkejut lalu menggeleng, “tidak..bukan begi…”

“dasar bodoh…” potong Radit, “bagiku kamulah kebahagiaanku…”

“tapi kan…kamu dan Tasya…” ucap Dinda ragu

“aku yang bodoh, aku ingin memperlihatkan padamu bahwa aku bisa bahagia dengan cewek lain…tapi hanya melukaiku dan juga melukaimu…maafkan aku..” ucap Radit lalu menyerahkan sebuah buku pada Dinda. “ini…kan…?” Dinda mengenali buku itu. Buku sejarah miliknya yang telah hilang.

“ya…aku menemukannya di rumah Tasya dan aku mengenali sampul yang aku bungkus sendiri…” kata Radit yang membuat kening Dinda berkerut tidak mengerti.

“Tasya-lah yang mempermainkan kita, dia yang membalas surat Ardi dengan meniru tulisanmu dan juga menyembunyikan surat-surat yang dikirim Ardi buatmu”

“tapi…kenapa?...”

Radit hanya menghela nafas, “ Tasya hanya iri padamu…ia merasa selama ini dikucilkan dan kamu merebut segala perhatian teman-teman”

“seharusnya aku yang iri padanya, ia memiliki kecerdasan tetapi sayang sekali ia memakainya untuk hal seperti ini, tapi aku yakin ia anak baik, hanya saja ia kesepian dan butuh teman” ucap Dinda dengan nada sedih.

“kita harus lebih memperhatikannya dan membuka hati untuknya. Aku yakin Tasya butuh perhatian kita semua” tambah Radit.

Tanpa sepengetahuan mereka, Tasya bersembunyi di balik lemari buku dan mendengar percakapan mereka. Butiran air mata meleleh di pelupuk matanya. Kini ia menyadari kekurangan yang ada pada dirinya. Selama ini ia menutup hatinya dari teman-teman yang ternyata peduli padanya. Hatinya sepi namun menimbulkan rasa iri yang bukan pada tempatnya. Kini ia mengerti betapa berartinya seorang teman.


by : Huda....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar